Rabu, 22 Februari 2012

Jingga Matahari Part. 1

Gambar 1
Hari ini Ata resmi menjadi murid SMA Airlangga, bu Sam tampak tersenyum senang mendengar kepindahan Ata ke SMA ini karena menurutnya kehadiran Ata di sekolah ini akan mengubah sedikit atmosfer buruk yang disebabkan oleh Ari. Ata keluar dari ruang kepala sekolah diantar oleh bu Sam.

“Terima kasih, bu,” ucap Ata sambil tersenyum.

Bu Sam tersenyum lembut pada Ata, senyum yang mungkin tidak akan pernah beliau keluarkan bila berhadapan dengan Ari.

Ata pergi meninggalkan ruang kepala sekolah dengan membawa kantong besar berisi baju seragam dan identitas lainnya yang menunjukan bahwa dia resmi menjadi murid SMA Airlangga dan dia akan mengenakan seragam itu mulai besok. Dengan gaya khasnya yang kasual dan sederhana Ata berjalan menyusuri koridor SMA Airlangga.

Hallo my brother!!” teriak Ari sambil merangkul saudara kembarnya itu.

Ata menghentikan langkahnya bingung, Ari pun bingung dengan berhentinya langkah Ata yang tiba-tiba. Ata menurunkan tangan Ari yang asik bergelanyut di pundaknya.

“Lo bolos yah ?” Tanya Ata dengan tatapan tajam mengarah ke mata Ari, “Sekarang kan masih jam belajar,” dengan memperjelas pertannyaannya tatapan Ata makin tajam.

“Santai, my brother. Guru yang seharusnya ngajar di kelas gue hari ini itu mendadak sakit perut, mungkin dia lagi berdiam diri di toilet seharian,” jawab Ari santai, sambil merangkul Ata lagi dan menggiringnya berjalan.

“Jangan bilang lo yang buat tuh guru bolak-balik ke toilet ?” Tanya Ata menyelidik, karena dia mulai mengetahui tingkah adiknya yang lahir sepuluh menit lebih lambat darinya itu.

“Sudahlah itu engga perlu dibahas, kita ke kantin kelas satu yuk, lo harus coba soto ayam di kantin itu,” Ari menggiring Ata dengan semangat, Ata pun mengikuti keinginan Ari karena kebeulan cacing di perutnya pun sudah merengek meminta jatah makan siangnya.

Sesampainya di kantin kelas satu Ari melihat Tari juga berada di sana sedang menyantap soto bersama Fio, dengan kaos olahraga yang menggantung di tubuh Tari itu tandanya cewek yang bernama lengkap Jingga Matahari itu habis menguras energi untuk berolahraga dan di sinilah tempat dia menambah energinya kembali.

Ari tersenyum memandang gadis yang memakai gelang berwarna orange itu, rambut Tari juga di ikat tinggi-tinggi tanpa disisir dengan ikat rambut bewarna senada dengan warna gelangnya, beberapa helai anak rambutnya keluar dari kuciran. Ari akan selalu mengingat setiap detail, setiap mili bahkan setiap pixel semua hal yang ada pada gadis penyuka matahari itu.

“Kok berhenti, katanya mau makan, cacing di perut gue udah dangdutan tau,” ucapan Ata itu membuyarkan lamunan Ari.

Ari tersemnyum geli mengingat apa yang baru saja dia lakukan, “Yuk!!” dia pun berjalan memasuki kantin dan menghampiri tempat dimana Tari sedang asik menikmati makan siangnya.

Namun mangkok soto dan sendok yang Tari pegang sudah berpindah tangan ke Ari, Ari pun langsung menyuapkan soto itu ke dalam mulutnya, “hmmm, ternyata enak juga yah, lebih enak dari soto yang sering gue makan disini,” Ari tersenyum dengan kemenangan yang terukir diwajahnya ketika melihat muka Tari yang sudah ditekuk seribu melihat kejadia yang sangat cepat di depan matanya itu.

“Apa-apaan sih, Kak Ari,” Tari merebut paksa kembali mangkok dan sendok di tangan Ari.

Ata yang berada disamping Ari hanya tersenyum tipis melihat tinggah Ari yang secara terang-terangan mengganggu Tari.

Tari tidak menghiraukan lagi keberadaan kedua saudara kembar yang berdiri tepat disampingnya, dia melanjutkan kembali melahap soto ayamnya yang sudah hampir setengah ia makan.

Tawa pelan Ari keluar ketika sesuap soto masuk ke dalam mulut Tari, Tari mengunyah sotonya dan memicingkan mata heran melihat cowok rese yang ada di depannya tiba-tiba tertawa.

“Berarti secara engga langsung kita udah jadian nih,” Tanya Ari, tapi sepertinya dia tak mengharapkan jawabanya karena dia langsung melanjutkan, “Soalnya lo udah mau ciuman sama gue, yah walau secara tidak langsung tapi itu resmi loh,” papar Ari sambil menyunggingkan senyum penuh kepuasan.

“Maksudnya?” Tari masih heran, daya tangkapnya mendadak hilang jiga berhadapan dengan cowok saiko seperti Ari.

“Apa perlu gue beli tuh sendok karna tuh sendok sudah jadi jembatan penghubung cinta kita,” Tanya Ari yang jelas sekali pertanyaannya itu tak membutuhkan jawaban dari gadis yang langsung reflex mengelap bibirnya dengan tissue saat Ari mengucapkan kata terakhir itu.

Ata dan Fio hampir bengong tidak percaya dengan pemikiran Ari yang benar-benar diluar jangkauan mereka. Wajah Ari terlihat santai walau sangat terlihat senyum yang disertai tawa pelan yang mengandung kemenangan mutlak itu selalu menghiasi wajahnya.

“Bu, soto ayam dua” Ari meninggalkan tempat tari dan berjalan menuju meja yang tidak jauh dari tempat dimana Tari duduk, Ata mengikutinya dari belakang.

Tari menatap punggung cowok rese itu dengan menahan amarah yang tinggi, Tari juga sempat melihat Ata yang sedang tersenyum lembut kearahnya namun dengan mata yang mengisyaratkan tanda bahaya yang entah dia tunjukan kepada siapa.

*****

“Tar, lo ikut gue,” sebuah tangan menarik tangan Tari dengan cengkraman yang kuat, tangan itu menariknya menjauh meninggalkan kelasnya dan Fio yang sedari tadi sedang ngobrol asik dengan Tari.

Fio bingung melihat kejadian itu, seragam yang membalut tubuh lelaki itu jelaslah milik Ari dan Fio tau bila sudah berhadapan dengan Ari, Fio tidak bisa berbuat apa-apa kecuali berdoa agar Tari kembali dengan selamat.

Tari digiring menuruni tangga dari lantai dua, tubuh Tari disentakkan kasar namun sangat hati-hati ke dinding di bawah tangga oleh cowok itu. Cengkraman tangan itu terasa asing melingkar ditangan Tari, tatapan matanya pun juga berbeda jadi dia tahu siapa cowok yang berada di depannya ini, walau dengan seragam sekolah penampilan mereka berdua sama tapi sorot mata yang mereka pancarkan sangatlah berbeda di depan Tari.

Tangan Ata mengunci tubuh gadis di depannya dengan tatapan tajam dan sangat tidak terbaca apa yang sebenarnya ingin Ata lakukan. Tari jadi mengingat kata-kata Ata tempo hari.

"Gue bener-bener minta maaf," bisiknya dengan nada sesal. "Tapi apapun yang gue lakukan ke elo nanti, kalau bisa gue perlunak, akan gue perlunak. Juga kalau bisa gue hindari, akan gue hindari. Tapi kalau nggak..." Sepasang bola mata aepekat jelaga itu menerjap lambat. "Tolong lo inget, gue bener-bener terpaksa."

Apakah harus sekarang? Tanya Tari dalam hati.

“Tar..” kata itu keluar dengan suara lirih dari cowok yang sedang tertunduk lesu di depannya. Wajah Tari semakin bingung dengan apa yang akan Ata lakukan.

*****

“Serius lo Tar? Ka Ata bilang gitu?” suara Fio hampir terdengar kesepenjuru kelas untung sekarang jam istirahat jadi hanya beberapa siswa yang masih tetap di kelas.

“Nggak percaya kan lo, Fi? Gue aja masih ngga percaya sama kejadian kemarin, apalagi lo Fi,” Tari membenamkan mukanya ke tas yang ada di atas mejanya. Kepala dia serasa hampir pecah dan meledak karena terlalu penuh dengan masalah yang terus berdatangan.

Fio mengerti sekarang kejadian yang akan Tari alami akan lebih parah lagi dibanding kejadian-kejadian sebelumnya, apalagi sekarang masalahnya bukan hanya satu tapi juga bayangan dari masalah itu pun akan menjadi masalah terberat dan terbesar yang akan dialami teman sebangkunya itu, Fio hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Tari dan melakukan apa yang bisa dia lakukan untuk Tari.

Tari bingung apa yang harus dia lakukan sekarang, kata-kata Ata kemarin telah membuatnya tidak bisa tidur semalaman, bahkan saat jam pelajaran pertama sampai saat bunyi bel istirahat tadi konsentrasinya pergi jauh dari dirinya tanpa dia tahu kemana perginya konsentrasi itu.

Kini Tari terlihat kacau, teman-teman sekelasnya heran dengan keadaan Tari sekarang, yang mereka tahu penyebabnya pasti berhubungan dengan kejadian saat Tari ditarik paksa oleh seseorang yang mereka sangka adalah Ari.

*****

Ari berjalan cepat menyusuri koridor sekolah menuju kelas Tari, diikuti oleh Ridho dan Oji di belakangnya. Ari baru saja mendapatkan info penting yang dari tadi dia ingin ketahui, jadi setelah info itu sampai ditelingannya dia tidak akan menyia-nyiakannya begitu saja.

Pintu kelas yang tadinya tertutup mendadak mengeluarkan dentuman yang keras, pintu itu terbuka karna satu senggolan kaki Ari yang lumayan keras. Bukan hanya Fio yang terkejut mendengar dan melihat apa yang ada di depannya itu, Tari yang sedari tadi membenamkan wajahnya kedalam kedua tangannya pun ikut menaikan wajahnya.

Ari menghampiri Tari cepat, dia menunduk dan mengankat wajah Tari dengan kedua tangannya, “Lo kenapa? Bilang jujur sama gue sekarang!! Apa yang sudah Ata lakuin ke lo kemarin?” pertanyaan itu tanpa henti mengalir dari mulut Ari.

Ari pun akhirnya mendapat jawaban penyebab diamnya Tari dari semalam dan tadi pagi saat Ari menjemput Tari kerumahnya, suara Tari tak terdengar meskipun omongan Ari yang Ari yakini dapat membuat Tari kesal ia luncurkan tetap saja Tari tak bergeming, dan sekarang Ari mengetahui penyebabnya berkat telvon dari Nyoman yang sempat mendengar pembicaraan Tari dan Fio sedikit di kelas, dan kini dia tahu penyebabnya adalah seorang lelaki yang pernah berbagi rahim dengannya selama Sembilan bulan.

Kemarin Ari dan kedua sahabatnya itu membolos dari sekolah, karena ada sesuatu yang Ari persiapkan, namun dia tidak menyangka Ata memanfaatkan kepergian Ari itu dengan membuat Tari seperti ini.

“Tar, bilang sama gue apa yang Ata lakuin ke lo?” bentak Ari sambil menggenggam erat wajah Tari. Tari diam seribu bahasa, mimik wajahnya pun sama sekali tidak berubah dari saat Ari sampai dikelasnya. Ari menatap Fio, hanya dia satu-satunya yang mengetahui keadaan Tari sebenarnya tapi Fio sudah berjanji pada Tari tidak akan membocorkan hal ini jadi Fio hanya bisa menggelengkan kepalanya saat mata Ari mengeluarkan isyarat seolah bertanya “Apa yang sebenarnya terjadi”

“Oke, kalau lo nggak mau cerita biar gue sendiri yang akan tanya ke Ata” Ari melepaskan tangannya dari wajah Tari dan hendak meninggalkan tempat itu tapi tangan Tari menahan kepergian Ari.

“Jangan lakuin itu kalau lo bener-bener care sama gue” ucap Tari memohon.

Ari menatap dalam tatapan Tari berharap menemukan jawaban apa yang dia pertanyakan sekarang ini, namun tatapan itu gelap dan jelas tatapan itu bukanlah milik Tari yang selama ini selalu ia ganggu. Separah itukan ucapan Ata sehingga membuat wajah ceria Tari yang baru saja kembali mendadak hilang lagi, dan sepertinya Ari harus segera mengambil tindakan atas perbuatan saudara kembarnya itu.

*****

Ari menghentikan motornya di depan halaman rumah yang kini ditinggali oleh ibunya dan saudara kembarnya, Ata. Ari menatap rumah itu tanpa menarik tubuhnya untuk beranjak dari motor hitamnya itu.

Setelah mengantarkan Tari ke rumahnya dengan keadaan yang masih sama seperti dia menjemputnya tadi pagi dia ingin sekali segera menanyakan hal ini pada Ata, awalnya dia ingin menanyakannya di sekolah tapi karena dia sudah berjanji pada Tari untuk tidak membuat kekacauan di sekolah dengan Ata, entah kenapa Ari menepati janjinya itu agar Tari tidak makin sedih.

Ari turun dari motornya dan melangkah menuju pintu rumah itu, dia mengetuk pintunya. Seorang wanita dengan sorot mata yang teduh itu keluar untuk membukakan pintu.

“Ari,” ucap wanita itu ketika mendapati Ari ada di depannya, wajahnya selalu terlihat bahagia setiap dia melihat Ari ada di depannya.

“Mama,” Ari tersenyum, panggilan itu sudah terbiasa dia ucapkan sejak kejadian yang berawal dari rumah tante Lidya. Ari mengambil tangan mamanya dan mencium lembut tangan mamanya itu, dan Mama Ari selalu memegang puncak kepala Ari ketika kepala anaknya itu menunduk untuk mencium tangannya.

Mama Ari membawa Ari masuk kedalam rumahnya, seperti biasa ketika sampai di rumah itu setelah pulang sekolah Ari selalu melempar tasnya ke sofa dan membanting tubuhnya ke sofa itu. Mama Ari sudah terbiasa melihat kebiasaan anaknya yang sembilan tahun pisah darinya.

Mama Ari berjalan menuju dapur, mengambilkan segelas es teh manis yang sudah dia siapkan untuk anak-anaknya sepulang sekolah.

“Makasih, Ma,” ucap Ari ketika menerima gelas berisi es teh manis dari ibunya. Ari menegak minuman itu dengan cepat dan air di dalam gelas itu pun seketika habis hanya bersisahkan es batu didalamnya.

Mama Ari masuk kedapur, Ari berdiri mengikuti mamanya sesekali mata Ari menatap kesekeliling rumah. Mama Ari sedang menyiapkan makan siang untuk kedua putra kecilnya yang dia sendiri tidak menyangka sudah sebesar ini. Ari memeluk Mamanya dari belakang, rasa tak ingin berpisah lagi selalu menyelimutinya.

“Ma, Ata belum pulang yah?” Ari bertanya itu ketika lingkaran tangannya sudah mendekap mamanya dengan erat.

“Belum, tadi pagi dia pamit sama mama mau ke tempat lain dulu sepulang sekolah. Mungkin sebentar lagi dia pulang,” jawab Mama Ari sambil mengelus lembut puncak kepala anaknya yang kepalanya disandarkan di pundaknya.

Tok..tok..


Terdengar suara ketukkan pintu dari arah luar.

“Tuh Ata sudah pulang,” Ari melepaskan pelukannya dari ibunya, dia berjalan menuju pintu.

“Dari mana lo?” Ari langsung menyambar pertanyaan ketika pintu itu sudah dia buka lebar.

Ata tersenyum mendengar pertanyaan sambutan dari kembarannya itu. Ari mencari arti senyuman itu di wajah Ata.

Ternyata waktu Sembilan tahun semakin menjauhkan kita, sampai arti senyumannya aja gue nggak bisa nangkep, Ari membatin.

Ata melewati Ari yang berdiri di depan pintu dengan cepat dan dia langsung masuk ke kamarnya sambil meninggalkan Ari yang masih menerka-nerka senyuman yang Ata lemparkan padanya.

*****

Ari mengajak Ata ke lapangan basket kompleks yang tidak jauh dari rumah kontrakkan ibunya dan Ata. Dengan seragam sekolah Ari men-dribel bola basket di tangannya dengan cepat dan melakukkan three point. Bola itu pun langsung berpindah tangan ke Ata, permainan bakset Ata tak kalah baiknya dengan permainan Ari.

“Langsung aja deh lo mau ngapain ngajak gue ke sini ?” Tanya Ata sambil men-dribel bola ingin melewati Ari.

“Oh, ternyata lo makin pinter aja selama tinggal di Malang,” Ari tersenyum, dia merentangkan kedua tangannya agar Ata tak melewatinya begitu saja.

Namun dugaan Ari tidak tepat, Ata memutar tubuhnya 360 derajat untuk melewati Ari dan langsung menunjukkan gaya Slam Dunk nya, bola itupun masuk ke ring dengan lancar.

“Pasti soal Tari?” Ata mengambil alih bolanya lagi.

“Sebenernya apa sih yang lo lakuin ke Tari, sampai seharian ini dia aneh banget,” Ari berusaha mengambil alih bola yang ada di tangan Ata.

Ata melakukan Lay-up dan bola itu pun masuk ke ring dengan mulus. Poin kembali di curi oleh Ata.

“Gue Cuma kasih sedikit peringatan dan sentuhan ke hatinya ko, gak lebih,” Ata mengatakan itu setelah shoot-nya berhasil dia lakukan.

Ari pun mengambil bola itu dan menghampiri Ata, “Ta, please deh jangan berbelit-belit, lo apain dia?” Nada suara Ari mulai tinggi.

“Weits, sabar bro. Nada suara lo kaya udah berasa memiliki Tari seutuhnya aja,” Ata tetap tenang, dia mengangkat alis kananya.

“Maksud lo?” tatapan Ari kini tidak bersahabat lagi.

Ata mengambil bola di tangan Ari dan berlari menuju ring basket dan melakukan shooting.

“Tari itu bukan milik lo, jadi jangan merasa memilikinya, lagian tuh cewek menyandang nama gue jadi itu urusan gue” Ata pergi meninggalkan Ari yang masih tidak mengerti dengan kata-kata yang Ata lontarkan.
Bola memantul ke arah Ari, Ari langsung menangkapnya dengan sigap tanpa mengalihkan tatapan matanya dari punggung Ata yang semakin menjauh.

Sial!!

Ari memantulkan keras bola basket itu ke lantai, bola itu memantul tak beraturan dan Ari pun meremas rambutnya dengan kesal.

*****

Ringtone di Ponsel tari berdering, telpon dari Ari menyambut paginya.

“Sepuluh menit lagi gue sampai rumah lo,” panggilan itu langsung diputus Ari sebelum Tari sempat mengeluarkan sepatah katapun. Jam di tangannya menuntukkan pukul 6 tepat.

Sebenernya hari ini Tari males banget pergi ke sekolah, padahal sudah empat hari berlalu setelah kejadian tentang Ata itu, tapi Tari masih belum bisa fokus. Suara motor Ari sudah terdengar di luar rumahnya.

“Tari,” Mamanya teriak memanggil Tari dari luar, pasti dia ingin memberitahu kalau Ari sudah datang.

“Katanya sepuluh menit, nih jarum belum pindah ke angka satu udah dateng, gimana sih” Tari menggerutu, diambilnya tas yang sudah tersiapkan rapih di atas meja belajar. Diapun langsung keluar dari kamarnya.

Tari keluar dengan wajah cemberut, bukan hanya karena masih mengingat kata-kata Ata tapi juga karena Tari kesal Ari datang lebih cepat dari yang dia katakana.

“Kok cepet banget sih datangnya,” ucap Tari ketika sudah keluar dari rumahnya.

Tari terkejut, ternyata yang di depan rumahnya itu bukan Ari, melainkan cowok tinggi dengan kaos putih dan kemeja yang dua kancingnya terbuka dengan celana jeans belel yang melekat ditubuh cowok itu.

“Kamu?!” Tari masih menatap tak percaya cowok dihadapannya itu.

“Kita…”

Sebelum cowok itu menyelesaikan kata-katanya Tari sudah mengamit tangan cowok itu dan menyuruhnya menjalankan mesin motornya.

“Tari berangkat, Ma” Motor itu lenyap meninggalkan jalanan kecil didepan rumah Tari. Mama Tari pun hanya bisa geleng-geleng melihat putrinya seperti itu, beliau pun masuk kerumah dan menutup pintu rumahnya, namun sebelum pintu rumah itu tertutup suara deru motor kembali terdengar di depan rumahnya.

“Pagi, Tante” sapa Ari sopan.

“Loh Ari ko disini?” tanya mama Tari heran.

“Kan seperti biasa tante, saya mau jemput Tari,” Ari makin tidak mengerti tatapan Mamanya Tari, dia seperti melihat ada keanehan ditatapan itu.

“Tapi, tadi Tari sudah pergi sama Angga,” Beliau pun menjawab kebingungan muka Ari.

“Angga tante ?” nada suara Ari tidak percaya mendengar nama pentolan SMA Brawijaya yang sudah lama tidak menampakkan hidungnya lagi.

“Iya,” Mama Tari mengangguk.

Reaksi Ari pun cepat dia langsung berpamitan pada Mama Tari dan langsung memasukan kopling dan gigi motornya dan motor itupun melaju dengan cepat.

*****

Ari melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, pikirannya berawang ke Tari dan Angga, dia merasa kedatangan Angga ini akan mempersulit keadaannya, karena kini bukan hanya bayangannya saja yang dia hadapi tapi seseorang dari masa lalunya antara dirinya dan Tari pun akan membuat daftar masalahnya makin banyak.

Di tempat lain Angga dan Tari sudah berdiri di depan angin pantai yang mengibas wajah mereka dengan lembut dan teratur. Mata Tari terpejam sambil merentangkan tangannya lebar-lebar Angga yang ta jauh disampingnya pun mengikuti setiap detail gerakan Tari. Angin pantai sedikit menghilangkan beban Tari yang sudah bertumpuk beberapa hari ini, desiran airnya pun terdengar dengan jernih ditelingganya, setiap helaian angin yang mengibas wajahnya begitu terasa.

Angga membuka matanya sedikit melirik wajah cewek yang ada di sampingnya sekarang, entah sudah berapa lama wajah itu tak pernah lagi dilihat olehnya. Anggapun menyunggingkan senyum manis dibibirnya, lalu dia menutup matanya kembali merasakan lagi desiran angin yang semakin kuat. Dia teringat kata-kata cewek di sampingnya sebelum sampai ketempat ini yang membuatnya menyunggingkan senyum kemenangan atas Ari setelah lama tidak berhadapan lagi dengan musuh bebuyutannya itu.

“Bawa gue pergi jauh-jauh dari sekolah deh, Ka. Gue males liat sekolah dan pelajarannya,” ucap Tari saat motor Angga berenti tak jauh dari SMA Airlangga.

“Bosen sama sekolah atau sama Ari?” pertanyaan yang Angga harap jawabannya benar.

“Dua-duanya sih, semuanya emang bikin kepala mau pecah,” Tari mendongakkan kepalanya dan menghembuskan nafasnya dengan cepat.

Kalimat itulah yang mengantarkan Angga untuk membawa Tari ke tempat ini, dia yakin gadis yang dia bawa ini akan jauh lebih tenang dengan ‘berbincang’ pada angin.

“Lega banget yah, seolah-olah semua beban tersapu bersih oleh angin,” kalimat pertama yang terdengar keluar dari mulut Tari setelah mereka sampai di tempat ini. Tetap dengan matanya yang terpejam Anggapun membenarkan kata-kata Tari.

*****

Ari melirik layar ponselnya yang sudah enunjukkan pukul 8 malam, berarti udah hampir delapan jam Ari menunggu Tari di belokan kecil jalan menuju rumah Tari, setelah dicarinya cewek penyuka warna jingga itu ke penjuru sekolah dan beberapa tempat yang mungkin Tari kunjungi, bahkan sampai mengorek informasi dari Fio yang sama sekali tidak tahu ke mana teman sebangkunya itu pergi akhirnya dia menyerah dengan menunggu Tari di sini.

Dari arah kejauhan motor Angga yang sudah sangat familiar di matanyapun muncul.

“Tar, ada Ari,” Angga berbisik ke Tari yang kebetulan menyenderkan kepalanya di punggung Angga, Hari ini Tari sangat kelelahan sehingga dia meminta izin pada Angga untuk menyenderkan kepalanya di punggung Angga.

“Biarin aja, paling dia Cuma mau nanya kita pergi kemana” ucap Tari datar, matanya sudah mulai mengantuk jad dia tidak terlalu memusingkan hal ini.

Sebelum memasuki belokan ke arah rumah Tari motor Ai sudah menghadang ditengan jalan itu, Anggapun terpaksa menghentikan motornya. Angga membuka helm yang sudah menutupi wajahnya sedari tadi.
“Hai, Ri. Lama tidak bertemu, sepertinya cewek di belakang gue ini sudah bosen berhadapan dengan lo sampai-sampai dia menyuruh gue membawanya jauh-jauh dari lo” senyum Angga merekah penuh kemenangan, sambil menatap mata cowok yang sudah penuh bara api.

Ari turun dari motornya dan menarik Tari yang sedang bersender di punggung Angga dengan paksa.
“Ka Ari kenapa sih,” respon Tari saat terpaksa menghilangkan kantuknya karena cengkraman tangan Ari yang kasar menariknya.

“Jangan kasar dong, ri” Angga berusaha membantu Tari yang terlihat sangat kesakitan tangannya dicengkram Angga.

“Jangan sentuh dia!!” bentak Ari pada Angga, kilauan mata Aripun begitu membara, “Siapa suruh lo pergi sama dia?!” Tanya Ari pada Tari sambil menekankan kata dia dan mengarahkan wajahnya ke Angga, sepertinya semua kemarahannya sudah berada di puncak.

“Bisa nggak sih kalian nggak rebut di sini?! Kalian nggak mikir apa cewek di depan kalian berdua itu hampir stress dengernya!!” Tari mengeluarkan semua amarahnya, dia kesal, dia capek, dia butuh istirahat bukan ocehan dari kedua lelaki di depannya.

Tari menarik tangannya dari cengkraman Ari, “Gue mau pulang, capek gue!!” setelah hentakkan tangan Tari menibas tangan Ari yang tadi mencengkramnya dia pun langsung berjalan masuk ke belokan arah rumahnya sambil meninggalkan kedua lelaki yang membuatnya pusing, yang satu penuh kemenangan dan satu lagi penuh amarah yang membara di hatinya.

*****

Kriiiingggg….

Jam weker berwarna jingga yang ada di meja samping tempat Tari tidur berbunyi dengan nyaring, disitu waktu menunjukkan pukul 6:05. Seketika itu Tari terbangun dan bersiap-siap untuk pergi kesekolah karena dia yakin waktunya tidak keburu bila dia berlama-lama lagi, dia langsung mengambil handuknya yang sudah bergantung di pintu kamarnya.

Kejadian kemarin membuatnya terlelap dengan pulas, badannya merasakan lelah dan semalam juga dia telah marah-marah pada orang yang justru sangat menghawatirkannya.

Seperti dugaannya Ari tidak akan muncul pagi ini, mungkin dia sedang marah dengan kejadian semalam. Sebelum pergi Tari mengambil roti yang sudah ibunya siapkan di meja makan untuk mengganjal perutnya, Tari pun segera pamit pada ibunya.

Tari sekarang hanya mempunyai waktu kurang dari setengah jam untuk mencapai SMA Airlangga.

****

Sepuluh menit menuju bel, Ari dengan gelisah menunggu Tari di halte dekat sekolah, dia sudah berusaha menelpon Tari tapi tetap tidak ada jawaban.

“Ke mana sih tuh anak, jam segini belum juga datang,” gumam Ari kesal.

Bus berwarna orange itu berhenti di tepat halte tempat Tari biasa turun, Ari langsung berdiri dan turun dari motornya, di carinya cewek yang selalu paling mencolok dibanding yang lain dengan dominasi orange di tubuhnya.

“Yang naik sama busnya sama aja warna orangenya, kalau jalan beriringan pasti ngga bakal ada yang bedain mana bus mana orang,” gumam Ari lagi sambil menggeleng-gelengkan kepala ketika melihat Tari turun sambil merapihkan baju seragamnya.

Ari menarik tangan kanan Tari dengan cepat, sehingga gadis itu kaget ketika merasakan tangannya tiba-tiba dicengkram lengan Ari.

“Apaan sih, sakit tau!” teriak Tari sambil menghentakkan tangan kanannya yang melingkar di telapak tangan Ari.

“Lo bego yah, ngga punya jam apa, lo ngga liat sekarang jam berapa?”

Sepertinya Ka Ari ngga akan mengungkit kejadian semalem, batin Tari

“Udah deh berantemnya lanjutin nanti yah, gue lagi ngga mood berantem sama lo pagi ini ka, anterin gue sampai sekolah yuk,” Ari ditarik menuju motornya, tanpa aba-aba dari Tari lagi Ari langsung menyalakan mesin motornya setelah ia pastikan kalau Tari sudah duduk dengan aman di belakangnya dan dengan kecepatan yang hanya 30 detik dia sudah melewati gerbang SMA Airlangga dengan mulus menuju parkiran tempat biasa Ari memarkirkan motornya.

Tari turun dari motor Ari dan merapihkan seragamnya lagi, “Thanks yah, Ka” ucapnya tanpa melihat ke arah Ari yang ada di depannya.

“Lo bilang makasih sama siapa ?” Ari membungkukkan badannya sampai ia melihat mata Tari yang sedang melihat ke bawah.

Tari bersungut kesal kalau dia harus menjawab pertanyaan yang orang menannyakannya sudah tahu jawabannya, “Sama tukang ojek yang barusan nganterin gue,” Tari segera berbalik badan dan berjalan memasuki koridor.

Ari langsung sedikit berlari mengejar Tari, dia sekarang sudah ada di depan Tari, “Oh, jadi selama ini lo anggap gue tukang ojek ?” Tari tidak memperdulikan Ari yang ada di depannya dia terus berjalan dan itu membuat Ari berjalan mundur untuk mendengar jawaban dari Tari.

“Woy, orang tanya di jawab dong, capek gue jalan mundur gini nanti orang kira gue undur-undur lagi,” Ari mulai capek dengan jalannya yang mundur dan sekali-kali melihat kebelakang.

Tari berhenti, Ari pun menghentikan mundurnya, tapi hampir mau jatoh karena berjalan mundur dan tiba-tiba berhenti itu cukup membutuhkan reflex yang tanggap. Tari sedikit menahan tawa ketika Ari hamir jatuh ketika berhenti tadi.

“Kalau mau berhenti kasih tau kek, mendadak banget,” ucap Ari kesal.

Tari masih menahan tawa gelinya, untung semua murid sudah bersiap dikelas masing-masing jadi tidak ada yang melihat Ari yang hampir jatuh tadi selain Tari.

“Jangan cengengesan lo, oya tadi lo bilang gue apa ? tukang ojek ? ngasal banget tampang keren gini dibilang tukang ojek,” Ari melipatkan keduatangannya ke dada dan membungkukkan kepalanya sehingga sejajar dengan Tari sambil menatap mata gadis itu tajam.

“Ya Ka Ari tadi nyebelin sih udah tau gue bilang terima kasih ke kakak pake nanya lagi” Tari memundurkan wajahnya.

“Yah lo salah sendiri bilang makasih liatanya ke bawah,” wajah Ari semakin mendekat ke wajah Tari dan itu membuat Tari pun memundurkan wajahnya bahkan langkah kakinya.

“Ternyata mata lo bagus juga yah, ko gue baru sadar sekarang,” ucap Ari pelan, sangat pelan Tari saja yang di hadapan Ari sekarang hanya mendengar sekilas yang ia tangkap namun itu cukup membuat pipi Tari memerah.

Tari mendorong jidat Ari yang semakin mendekat itu “Udah ah, gue udah telat banget nih” Tari langsung berjalan melewati Ari.

Ponsel Tari dan Ari menjeritkan ringtone bersamaan Tari yang sedang berjalan pun langsung menghentikan langkahnya karena selain dia ingin membaca sms yang masuk dia juga lupa ponselnya belum di silent.

Tar, Lo dimana? Pak Yakob sdh dtg!!

Gawat!
SMS dari Fio itu membuat Tari langsung sigap berlari menuju kelasnya.
Diwaktu yang sama Ari yang kira-kira berada 5 km dari Tari pun langsung membaca isi sms yang masuk itu, dari Oji.

Boss, Bu Sam udah masuk!!

Reaksi Ari setelah membaca sms itu tidak seperti Tari yang langsung tancap gas menuju kelas, tapi Ari malah membeli minum dulu di kantin kelas sepuluh sambil mengikuti Tari sampai kelas. Setelah melihat Tari selamat dari Pak Yakob, Ari menuju kantin untuk membeli air mineral.

Tepat pukul 08.00 Ari baru masuk ke kelasnya, Bu Sam sedang menerangkan di depan kelas. Ari masuk dengan senyum yang menawan dan tanpa merasa berdosa karena telat, Bu Sam melihat Ari masuk dari sudut matanya tapi dia diam sambil menyunggingkan senyum kemenangan.

“Meja sama kursi gue mana?” Ari heran ketika sampai di tempat duduknya tempat itu kosong tanpa kursi dan meja, dia melirik ke arah teman duduknya, Oji. Namun Oji hanya menggeleng dan menunjuk Bu Sam yang ada di depan dengan menggunakan lidah di dalam mulutnya.

Ibu Sam berbalik menghadap ke Ari, beliau nyengir lebar. Mungkin kalau diukur sudah selebar cengiran kuda.

“Ari hari ini kamu ibu kasih hadiah special, berbeda dari hari biasanya,” senyum itu makin mengembang di wajah wali kelas XII IPA 3 itu.

Ari menatap Oji dan Ridho mencari jawaban apa yang dimaksud guru kejam yang ada di hadapannya tapi hasilnya nihil tidak ada jawaban apapun dari tatapan mereka berdua.

“Hari ini kamu mendapat kehormatan untuk mengikuti pelajaran tanpa menggunakan properti sekolah.” Senyum culas menghiasi wajah guru yang memasuki umur 40-an ini.

“Waduh, saya nggak ngerti apa maksud ibu,” ucap Ari.

Raut wajah Bu Sam berubah 180 derajat. Beliau berjalan menuju pintu dan mengunci pintu kelas itu lalu beliau mendekati Ari dan menatap lurus pada wajahnya. Ari menyirit tidak suka ditatap seperti itu.

“Bu, jangan ngeliatin saya mulu. Entar kalau ibu naksir sama saya gimana, suami ibu mau dikemanain coba?” wajah polos Ari membuat Bu Sam geram, apalagi melihat suasana kelas yang tadinya tegang menjadi agak relax ketika Ari mulai berulah lagi.

Dari semua siswa yang ada di kelas ini bahkan di sekolah ini akan diam bila berhadapan dengan Bu Sam karena menurut mereka diam adalah satu-satunya hal yang paling tepat untuk keluar dari situasi seperti ini, tapi tidak untuk Ari.

“Saya juga pikir-pikir kali kalau suka sama murid saya,” ucap Bu Sam ngasal.

“Wah gawat nih masa ada guru yang jatuh cinta sama muridnya sih, ibu ini mencontohkan hal yang tidak baik buat para guru senior, ”

“Lagian siapa juga yang suka sama muridnya ?” tanya Bu Sam sambil melotot menatap Ari tajam.

Murid kelas XII IPA 3 turut berbahagia melihat adegan sengit antar guru dan murid ini walaupun ini sering terjadi tapi mereka tetap saja fresh ketika kedua orang di hadapan mereka sudah mengibarkan bendera peperangan, namun kejadian ini baru pertama kali dilihat langsung oleh Ata, orang yang pernah berbagi rahim pada cowok yang paling bermasalah di sekolah ini.

“Kan ibu barusan bilang,” Ari tersenyum melihat wali kelasnya itu kesal.

“Sudah kamu jangan mengulur waktu saya, sekarang kamu ikuti pelajaran saya dengan duduk di belakang,” suruh Bu Sam, dia sadar berdebat dengan pentolan sekolah satu ini sangat susah.

“Masa cowok sekeren saya suruh belajar ngga pake kursi dan meja sih bu, sedangkan yang lain duduk di kursi”

Ibu Sam tidak memperdulikan ucapan Ari, dia menatap ke arah Oji dan Ridho yang pasti akan membantu Ari sambil berkata, “Ingat jangan ada satu pun yang memberikan kursi atau meja pada Ari karena ancamannya nilai kalian untuk pelajaran saya akan mendapat nilai nol” kata-kata itu diajukan kepada semua murid di kelas ini. Namun Oji dan Ridho menyadari kata-kata itu ditujukan khusus untuk mereka berdua.

Ari berjalan gentle menuju ke barisan belakang, dia sepertinya pasrah karena tidak ada jalan menuju keluar setelah Bu Sam berancang-ancang menutup pintu kelasnya bahkan menguncinya.

Semua murid menatap empati -begitu juga Oji dan Ridho yang merasa bersalah karena tidak member tahu Ari karena sebelum Bu Sam melancarkan rencananya itu ponsel Oji dan Ridho sudah tersimpan rapih di saku baju Bu Sam- melihat Ari belajar sambil melipatkan kakinya di bawah dan juga mencatat sambil mendengarkan Bu Sam menerangkan di depan. Bu Sam pun menyunggingkan senyum kemenangan di ujung bibirnya.

*****

Bel pulang sudah berbunyi, Ari sudah bertengger sambil memainkan game diponselnya di balik pintu kelas Tari menunggu kehadiran cewek yang tak pernah dia lupakan dimanapun dia berada.

“Ikut gue yuk!” ucap Ari tiba-tiba tepat saat Tari baru saja keluar dari ambang pintu kelas. Ari langsung menarik Tari pergi dari tempat itu.

“Gue duluan yah fi,” pamit Tari pada Fio, Fio hanya tersenyum melihat teman sebangkunya ditarik oleh pentolan sekolah itu (lagi).

Setelah sampai parkiran, Ari langsung memberikan helm kepada Tari.

“Mau kemana sih?” Tanya Tari heran.

“Lo juga bakal tahu, pokoknya lo tinggal duduk manis di belakang gue,” Ari menaikki motornya setelah helm hitamnya itu menutupi wajah Ari.

Tari meniup poni rambutnya yang hampir menutupi matanya pasrah, dia pun memakai helmnya dan langsung naik ke motor Ari.

Motor Ari berjalan meninggalkan gerbang SMA Airlangga dengan cepat, Ridho dan Oji tersenyum dan melakukan TOSS karena mereka yakin rencana yang mereka susun dari kemarin akan berhasil dilakukan oleh bossnya itu.

Ari melepaskan tangan kanannya dari stir motornya dan menarik tangan Tari kanan Ari yang sedang memegangi pahanya sendiri ke lingkaran perutnya, dia pun melakukan hal yang sama pada tangan Kirinya secara bergantian. Tari memberontak namun Tari kalah cepat karena Ari sudah memegangi kedua tangan Tari dengan satu tangan kirinya. Ari tersenyum penuh kemenangan di balik helmnya, Taripun hanya bisa pasrah sambil ditenggelamkan wajahnya ke punggung Ari karena Ari mulai menguasai jalanan ibukota yang cukup ramai dan macet ini.

*****

To Be Continue...

9 komentar:

  1. mba alfi ini jingga untuk matahari kn ? udh kluar emng novel yg ini?

    BalasHapus
  2. ini beneran noveLnya JUM..?????

    BalasHapus
  3. kereen .. part 2.na blm ada iahh ????????

    jadi g sabar nunggu JUM.na mba esti

    BalasHapus
  4. lanjutin dong ..
    bagus bnget :D

    BalasHapus
  5. Fanfiction. Ceritanya nyambung sama Jingga dan Senja, Jingga Dalam Elegi. Cuma bahasanya aja agak beda. Keseluruhan...oke kok.

    BalasHapus
  6. Kenapa nggak dilanjutin? Padahal bagus banget, lho.
    Part dua-nya ke mana?
    Lanjuut! And keep writing! ^_^

    BalasHapus
  7. mbak alfira bagus bgt mbak,, nyambung bgt sama novel jingga yang sebelumnya, gregetnya juga udah lumayan dapet, cuma gaya bahasanya sedikit berbeda dengan mbak esti,, ayoo lanjutin dong mbak part 2 nyaaa,,, tak tunggguuu ,,,, kereeeeennnn :)

    BalasHapus
  8. All : Woh makasih udah pada baca loh, aku buat lanjutannya sampe Part 3, coba liat di sini deh http://alfirahmaa.wordpress.com/

    BalasHapus